>KERETA TAK PERNAH PERDULI
CERPEN MUHAMMAD NURMAN
Tepat perkiraannya, metromini yang ditumpanginya berhenti paling depan palang pintu kereta. Belum lama Wahab di dalamnya, duduk persis di belakang supir di samping jendela. Supir metromini, hitam legam brewokan sambil menyalakan rokok, menanyakan sesuatu dengan logat batak kepada kernet di pintu belakang. Tak satu pun kata yang dapat ditangkap Wahab walaupun temannya yang bermarga Saragih pernah mengajarkan beberapa ungkapan-ungkapan sederhana dalam bahasa batak.

Siang itu tak begitu menyengat, beda dengan hari-hari sebelumnya yang membara menguras keringat. Dari pintu belakang naik sepasang muda-mudi dan duduk di bangku paling belakang. Kini ada tujuh orang penumpang semuanya di dalam metro mini, tidak teramasuk supir dan kernetnya. Sementara di seberang sana beberapa orang sambil melongok kanan kiri setengah berlari menyeberang rel, mengabaikan sempritan petugas yang jaga di gardu. Tak lama kemudian melintas sebuah KRL sarat dengan penumpang. Wahab ingat ada sesuatu yang tak terlupakan saat dia naik kereta beberapa bulan yang lalu, sebuah pelajaran yang amat sangat berharga.
***
“Bagaimana, dapat?”
“Nggak.”
“Kok nggak?”
“Sial bener, belum nyampe.”
“Masak belum nyampe-nyampe juga.”
“Ah, buang-buang ongkos aja. Tahu, tadi nggak pergi.”
Wahab menyeka keringat, menuangkan air segelas penuh dan langsung menghabiskannya, menghilangkan dahaga yang tak tertahankan. Baru saja sampai rumah Odah, istrinya cemberut.
Tak ada transfer uang yang masuk ke rekeningnya tadi waktu dia ngecek ke bank. “Belum sampai,” kata pegawai bank yang tak hirau akan kegundahannya. Padahal dia benar-benar butuh duit. Dari rumah ke bank saja, dia harus ganti angkot tiga kali. Pulang pergi, tak lagi tersisa uang yang di pinjamnya dari kakak iparnya itu. Dan ini sudah kedua kalinya dia pergi ke bank.
“Bohong ‘kali tuh orang,” Odah mulai lagi bersungut-sungut.
“Ah, nggak. Siapa tahu memang belum nyampe,” kata Wahab menghibur diri.
“Kenapa sih Mas, punya saudara kaya pada pelit-pelit?”
“Sabarlah, yang ini pasti mau bantu.”
“Mbok ya nelpon aja lagi supaya yakin.”
“Malas ah, dikiranya kita ngemis.”
“Tapi, mas, kita kan memang sedang butuh duit.”
“Tahu ah, pusing!” Dan Wahid ngloyor ke kamar mandi. Perutnya mules. Sejurus kemudian terdengar suara kran air di putar. Belum benar-benar terasa nyaman Wahab di sana tiba-tiba Fajar yang baru datang berteriak lantang, “Pak, Bu guru dah nagih uang buku, kapan mau dibayar?”
Asti, adik Fajar menimpali, “Asti juga, Pak, teman-teman yang lain ‘dah pada bayaran.”
Bapak mereka bungkam, sambil jongkok menahan perih merenung, sebenarnya Om Jamal mau bantu atau tidak? Wahab merasa terlalu percaya diri mengirimkan nomor rekeningnya lewat SMS ke Om Jamal adik almarhum bapaknya yang setelah kaya terkesan menjaga jarak dengan saudara-saudaranya yang lain. Meskipun Om Jamal menyanggupi untuk mengeluarkan uang Rp. 700 ribu untuknya, namun Wahab tak yakin dengan janji Om Jamal itu. Paling-paling ah, ...
Sayup-sayup di luar didengarnya suara istrinya berbisik kepada anak-anaknya, “Bilang ibu nggak ada.”
Wahab hafal, sebentar lagi ‘bank keliling’ datang menagih utang . Perutnya tambah mules.
***
Hari ini Wahab tak kemana-mana. Berkaos oblong dan bersarung dia duduk di teras rumahnya sambil pencet-pencet HP. Tak ada yang bisa dihubungi karena masa aktif Hpnya telah habis. Odah sedang ke tempat kakaknya, minta bantuan beras yang tinggal segenggam di rumah. Sedang anak-anaknya belum pulang sekolah.
Seseorang di pagar melirik ke arahnya. Wahab menghampirinya dan mengambil sehelai kertas yang disodorkan padanya. Membaca apa yang tertera di sana juga melihat gambar dengan aneka warna, Wahab hanya menghela nafas. Selebaran promosi pembukaan mini market baru di jalan utama di luar sana seakan-akan sedang mengejeknya. Harga miring, banting harga atau apa pun istilahnya sekarang ini takkan bisa menyedot dia sekeluarga untuk belanja kesana. Ndak ado pitih, kata orang Padang.
Dia kembali duduk di teras, menjepit bibirnya erat-erat hingga terlihat monyong. Seorang lelaki berkaos hitam lengan panjang lewat dan Wahab terperanjat. Itu Saragih. Wahab mencoba mengingat-ingat nama depannya.
“Guntur!”
Guntur Saragih menoleh.
“Eh, kau tinggal di sini rupanya, ” katanya dengan logat bataknya yang kental.
“Mampir dululah. Emang habis darimana?” tanya Wahab.
Guntur tak menjawab. Wajahnya kusut, namun dia menerima tawaran Wahab menemaninya duduk di teras.
“Dah lama kautinggal di sini?” tanya Guntur sambil mengeluarkan satu pak Djarum Super dari kantongnya dan menawarkan satu ke Wahab. Wahab menerimanya sambil tersenyum.
“Kira-kira dua tahunlah,” jawab Wahab sambil menyulut rokoknya. Guntur membetulkan posisi duduknya, lantas mengamati sekelilingnya. Lantas katanya, “Ah, sial betul aku hari ini, Hab.”
“Kenapa?
“HP aku disikat copet di kereta. Mana banyak nomor penting lagi di situ. Ini gara-gara si Frans, ngajak main kesini pakai naik kereta pula. Aku nggak biasa naik kereta. Kau tahu sendiri kan, banyak ‘ kali manusia di situ.”
Wahab terdiam, ikut prihatin dengan apa yang menimpa Guntur. Dia ingat kepalan tinjunya yang berapa kali dihantamkan kepada seorang pemuda saat dia turun dari kereta beberapa bulan lalu. Sebelumnya di pintu, dia merasa sakunya dirogoh orang dan saat dia menoleh Hpnya sudah berpindah tangan. Copet yang ketangkap basah itu jadi bulan-bulanan massa. Untung nyawanya masih bisa diselamatkan karena kebetulan di stasiun itu ada beberapa orang polisi berpakaian preman sedang bertugas. Masih ingat betul Wahab wajah copet yang bermata elang itu yang terus menatapnya hingga hilang dari pandangan.
“Gimana dengan kehidupanmu sekarang, Hab? Oh ya, ‘dah tambah anak lagi? ”
“Dua ajalah dulu. Sekarang aku nganggur. ‘Dah hampir sebulan.”
“Kenapa kau berhenti?”
“Perusahaan bangkrut. Pemborosan di sana-sini.”
“Dapat pesangon dong.”
“Boro-boro, belum juga setahun.”
“Lantas, sehari-hari?”
“Ya, gali lobang tutup lobang.”
“Kalau saja aku bisa bantu ...”
“Pinjamin duit dong, ada nggak?”
“Hahaha ...”
“Kok ketawa?”
“Kayak nggak kenal aku aja kau. Tuh tagihan kartu kredit di rumah.”
Guntur menyemburkan asap rokoknya perlahan-lahan ke muka Wahab seperti yang biasa dilakukannya waktu masih satu kos dulu dengannya. Dasar dukun pelet, kata Wahab dalam hati, ingat kelakuan Guntur di masa lalu.
“Ngopi nggak?” tawar Wahab.
“Boleh,” sambut Guntur.
“Nanti aja ya, kapan-kapan. Nggak ada gula. Nggak ada duit,” kata Wahab lagi sambil ngakak.
“Pelit amat kau!”
***
Odah baru saja memeriksa minyak tanah di kompor. Melihat kompor tak berisi dia menyumpah-nyumpah. Di luar Fajar main api dengan korek yang tinggal beberapa batang itu Asti ikut bakar-bakaran sambil ketawa cekikikan.
“Jar! Bawa sini koreknya, nanti ibu nggak bisa masak,” teriak Odah. Dari jendela dilihatnya Wahab sedang membuka pintu pagar, baru datang rupanya, entah darimana.
“Pak, kapan uang bukunya?” Fajar langsung menagih.
“Asti juga, sekalian nabungnya ya Pak?” Asti lagi-lagi menimpali.
“Iya, iya, nanti. Besok bapak pergi ambil duit.”
“Ah, bapak janji melulu,” sungut Fajar.
“Ho oh,” Asti ikut-ikutan manyun.
“Jadi besok pergi?” Odah yang mendengar perkataan suaminya tiba-tiba nongol di pintu.
“Jadilah. Kan SMS-nya baru tadi diterima. Berarti besok nyampenya,” jawab Wahab.
“Benar nggak dia ngirim?”
“Lho kan tadi baca sendiri pesannya.”
Kali ini Wahab yakin dia kan pulang bawa uang besok. Tiba-tiba pipinya basah. Odah mendongak—langit kian gelap di atas sana. Cepat-cepat dia pergi ke halaman samping mengangkat jemuran. Fajar dan Asti, berlomba dengan rintik hujan, ikut membantu ibunya. Hujan turun dengan deras.
***
Hujan tak kunjung reda siang itu ketika Wahab menggeser pantatnya dari pinggir jendela metromini yang sesekali menumpahkan air. Tak begitu lebat, namun kayaknya awet.
Dia turun di perempatan lampu merah dan berlari menuju halte, melompat menghindari air menggenang, kalau-kalau ada mobil lewat menyibaknya. Dia tidak membawa payung dan memang tidak suka membawa payung. Sesampainya di bank dia langsung menarik dana seperti yang direncanakannya semula. Kali ini berhasil. Plong terasa di dada.
Sebenarnya kalau tidak hujan dia ingin mampir ke pasar membeli oleh-oleh untuk istri dan anak-anaknya. Namun sepertinya hujan tak bakalan berhenti. Lantas dia berjalan menyusuri lorong pertokoan dan cukup lama dia berteduh di depan restoran Padang. Melongok ke kaca restoran sebentar-sebentar mendadak dia merasa lapar melihat tumpukan piring bersusun-susun dengan aneka masakan yang lezat itu.
Terkejut dia seketika. Seseorang menghampirinya dan tersenyum. Itu si Guntur. Baru tempo hari bersua, angin apa yang membawanya kemari? Pikirnya.
“He, kok kau ada di sini?” tanya Guntur, terperanjat juga dia, “temani aku aku makan yuk?”
“Tapi aku nggak punya duit,” balas Wahab berbohong.
“Ah, kau ini. Aku yang bayar. Kayak tak kenal aku aza kau!”
Kapan lagi, pikir Wahab dan, “Ayolah ...”
***
Perutnya kenyang dan Wahab beberapa kali terkentut di metro mini. Dia tak perlu menahannya karena suara gemuruh mesin diesel angkot tua ibukota ini cukup memekakkan telinga. Tak habis pikir dia, mengapa sampai sekarang Guntur betah membujang, padahal dia sudah cukup dana untuk menikah. Terlalu pilih-pilih tuh orang, katanya dalam hati.
Macet di beberapa ruas jalan kian menjadi-jadi senja itu, terutama saat hujan turun begini. Dan ketika laju kendaraan tersendat-sendat di dekat stasiun, Wahab dihadapkan pada dua pilihan: pulang cepat atau ‘terpanggang’ di angkot sampai larut malam. Cepat dia mengambil inisiatif. Dia memilih melanjutkan perjalanan naik kereta. Belajar dari pengalaman sebelumnya kini dia sangat berhati-hati menaruh uang. Uang sejumlah Rp.700 ribu dalam pecahan limapuluhribuan ditaruhnya di celana dalam dan itu dilakukannya di WC umum stasiun.
Di peron calon penumpang tak seperti biasanya, membludak! Seluruh bangku terisi penuh dan beberapa orang berdiri dan lalu lalang melihat-lihat barang dangangan kaki lima. Baru Wahab hendak jongkok mendadak kereta tiba. Lewat pengeras suara disarankan agar calon penumpang yang nanti tidak terangkut menunggu KRL berikutnya, hanya berselisih dua stasiun di belakang. Seperti biasanya, begitu kereta berhenti, langsung diburu calon penumpang yang tak perduli dengan kerumunan manusia di dalamnya yang terdesak sampai ke pintu.
Wahab menelan ludah melihat seorang perempuan tua yang ngotot ingin naik, namun ditolak sekumpulan pemuda di pintu. Dia memilih menunggu kereta berikut, mungkin tak terlalu penuh. Namun tak beda dengan sebelumnya, kereta tetap membludak. Apa boleh buat, tak ada pilihan lain, menunggu kereta berikut berarti menunggu ketidakpastian. Di samping lama, belum tentu menyisakan ruang yang lebar bagi dirinya.
Maka cepat-cepat dia menerobos pintu kereta. Perjuangan yang tidak begitu mulus! Beberapa orang yang berotot kuat menyisakan baginya tempat tepat di pintu, bergelantungan berhujan-hujan. Tak ada yang perlu disesali, kini dia harus bertahan bergelayutan melawan kencangnya hembusan angin dan rintik hujan. Teringat dia rumah, istri dan anak-anaknya, rasa-rasanya ingin cepat sampai. Ingin makan enak lagi, minum yang manis-manis dan cari kerja lagi secepatnya.
Belum lama kereta berangkat tiba-tiba dia merasa jari-jari tangannya seperti ada yang menjepit. Spontan dia menoleh. Seorang lelaki berpeci hitam dengan posisi berdiri miring menyangga langit-langit di dalam segera minta maaf. Ada bekas luka di keningnya. Wahab terperanjat, sepertinya laki-laki itu juga.
Wahab mencoba mengingat-ingat sesuatu. Lelaki itu tak mengalihkan tatapannya dari Wahab, sepertinya juga sedang mengingat-ingat sesuatu. Sementara di dalam terdengar beberapa orang menggerutu. Selanjutnya, entah apa yang terjadi di dalam, penumpang di pintu merasa terdesak keluar. Sekuat tenaga Wahab mempertahankan posisinya yang kian tidak aman.
Kereta melaju kencang bak dikejar setan. Lelaki berpeci hitam itu tiba-tiba ingat seseorang pernah menghajarnya di stasiun beberapa bulan silam.